Sistem ekonomi kapitalis pada hakikatnya merupakan segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari agama tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan azas manfaat (naf’iyyah) ini, yang baik adalah yang memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya kepada manusia dan yang buruk adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak lain adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi, baik itu materi yang dapat diindera dan dirasakan (barang) maupun yang tidak dapat diindera tetapi dapat dirasakan (jasa).
Ciri-ciri Ekonomi Kapitalisme :
· Pengakuan yang luas atas hak-hak pribadi dimana Pemilikan alat-alat produksi di tangan individu dan Inidividu bebas memilih pekerjaan/ usaha yang dipandang baik bagi dirinya.
· Perekonomian diatur oleh mekanisme pasar dimana Pasar berfungsi memberikan “signal” kepada produsen dan konsumen dalam bentuk harga-harga. Campur tangan pemerintah diusahakan sekecil mungkin. “The Invisible Hand” yang mengatur perekonomian menjadi efisien. Motif yang menggerakkan perekonomian mencari laba
· Manusia dipandang sebagai mahluk homo-economicus, yang selalu mengejar kepentingan sendiri. Paham individualisme didasarkan materialisme, warisan zaman Yunani Kuno (disebut hedonisme).
Kebaikan-kebaikan Ekonomi Kapitalisme:
· Lebih efisien dalam memanfaatkan sumber-sumber daya dan distribusi barang-barang.
· Kreativitas masyarakat menjadi tinggi karena adanya kebebasan melakukan segala hal yang terbaik dirinya.
· Pengawasan politik dan sosial minimal, karena tenaga waktu dan biaya yang diperlukan lebih kecil.
Kelemahan-kelemahan Ekonomi Kapitalisme
· Tidak ada persaingan sempurna. Yang ada persaingan tidak sempurna dan persaingan monopolistik.
· Sistem harga gagal mengalokasikan sumber-sumber secara efisien, karena adanya faktor-faktor eksternalitas (tidak memperhitungkan yang menekan upah buruh dan lain-lain
Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time oi Present Day, menguraikan bahwa sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa rata-rata setiap lima tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Krisis yang menimpa AS mulai tampak dari indeks saham melorot tajam. Sejumlah perusahaan keuangan raksasa dunia bangkrut. Perusahaan perkreditan rumah Fannie Mae dan Freddie Mac yang memberi garansi utang senilai 5,3 triliun dolar AS atau separuh lebih dari utang perkreditan rumah di AS pun ambruk.
Pada akhir masa jabatannya, Presiden George W. Bush harus berjibaku menyelamatkan dua perusahaan tersebut dengan menggelontorkan uang dari kas pajak warga negaranya sebesar 200 miliar dolar AS. Bukan hanya itu, Lehman Brothers, salah satu perusahaan investasi bank AS terbesar juga gulung tikar. Inilah akhir nasib bank terbesar dan tertua yang berdiri tahun 1844. Padahal pada 2007 Lehman masih melaporkan jumlah penjualan sebesar 57 miliar dolar AS. Bahkan Maret lalu Majalah Business Week masih sempat menempatkan perusahaan tersebut sebagai salah satu dari 50 perusahaan papan atas pada tahun 2008.
Perusahaan investasi lain, seperti Merril Lynch, yang bertahun-tahun sempat menjadi raksasa Wall Street, juga bernasib sama. Begitu pula AIG, salah satu perusahaan asuransi terbesar, yang memohon suntikkan dana darurat sebesar 40 miliar dolar AS dari pemerintah AS untuk menghindari kebangkrutan total. Majalah Wall Street Journal menyebutnya dengan kata-kata, "Sistem keuangan Amerika terguncang hingga ke pusarnya."
Akibat krisis itu, sejumlah institusi keuangan mengalami kerugian yang tidak sedikit; di AS mencapai 300 miliar dolar AS, sedangkan di negara-negara lain diperkirakan 550 miliar dolar AS.
Untuk mengatasi krisis tersebut, sejumlah negara, termasuk AS, mulai menggelontorkan dana miliaran dolar AS ke pasar modal. Cara itu dianggap mampu menopang pasar dan mem-backup likuiditas agar bisa menggerakkan aktivitas ekonomi. Bahkan sebagian ada yang mengintervensi langsung sampai pada level nasionalisasi sebagian bank, seperti terjadi di Inggris.
Penyebab krisis ekonomi negeri Paman Sam adalah penumpukan hutang nasional yang mencapai 8.98 triliun dolar AS, pengurangan pajak korporasi dan pembengkakan biaya perang Irak dan Afganistan. Yang paling krusial adalah subprime mortgage, yakni kerugian surat berharga properti sehingga membangkrutkan Lehman Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock, UBS dan Mitsubishi UF.
Krisis yang menimpa AS tersebut mendapat sorotan tajam dari media massa di Eropa, seperti dikutip dalam Pinara.net. Misalnya, harian Italia La Republica yang terbit di Roma berkomentar, "Saat ini Amerika Serikat dilanda resesi yang sangat serius dan menyakitkan. Kini pertanyaanya, seburuk apa fase krisis ini, dan apakah akan dapat meruntuhkan ekonomi Amerika Serikat secara mendadak?"
Lebih lanjut harian negeri sepak bola itu mengungkapkan, masyarakat Eropa, terutama Bank Sentral Eropa, menyadari hal itu merupakan ilusi dan tetap mengharapkan masih dapat melindungi kawasannya atau menepis dampak dari krisis berat ekonomi di Amerika Serikat. Namun, dalam krisis yang terjadi pada 2008 ini, Eropa tidak akan lagi mampu menahan dampak krisis ekonomi dari Amerika Serikat dan akan ikut tergilas.
Harian Perancis Dernieres Nouvelles d'Alsace yang terbit di Strassburg juga mengomentari dengan tajam krisis ekonomi dunia. "Di Jerman, serikat buruh menuntut kenaikan gaji sampai 8 persen untuk mengimbangi daya beli yang terus menurun. Di Prancis menurunnya daya beli juga menjadi topik bahasan."
Harian itu menyatakan, kenyataannya penurunan daya beli ini bukan hanya masalah Prancis saja, tapi juga dialami seluruh negara Eropa. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi terkoreksi ke bawah. "Krisis kredit di Amerika Serikat menunjukkan betapa rentannya globalisasi moneter," tulis harian tersebut.
Imbas krisis global juga dirasakan Jerman. Harian yang beredar di Jerman, Der Tagesspiegel, yang terbit di Berlin berkomentar, "Jika tidak seluruh ketakutan menjadi kenyataan, sekarang terlihat betapa buruknya persiapan Jerman menghadapi penurunan konjunktur…Negara tidak mampu lagi mengembalikan kemampuannya untuk bertindak. Politik secara keseluruhan gagal mengambil manfaat dari laju konjunktur. Asuransi kesehatan, yayasan dana pensiunan dan pasaran kerja tidak lagi kebal dari krisis."
Sorotan tajam media itu menjadi bukti bahwa krisis ekonomi kali ini imbasnya sangat besar. Ketakutan terhadap krisis yang lebih besar kini menyelimuti hampir sebagai besar negara-negara di dunia.
0 komentar:
Posting Komentar