1. Pendahuluan
Perkembangan dunia perbankan telah terlihat kompleks, dengan berbagai macam jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Kekomplekan ini telah menciptakan suatu sistem dan pesaing baru dalam dunia perbankan, bukan hanya persaingan antar bank tetapi juga antara bank dengan lembaga keuangan. Sebuah fenomena nyata yang telah menuntut manajer keuangan bank untuk lebih antisipatif terhadap perubahan yang terjadi dalam dunia perbankan.
Beberapa tahun yang lalu, pertumbuhan lembaga keuangan dan bank muamalat dengan sistem syariah mulai bermunculan. Lembaga keuangan ini sudah sejak lama berkembang di negara Arab Saudi, Kuwait, Turki, Iran dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Perkembangan selanjutnya merebak ke wilayah negara Eropa, seperti Swiss dan London, serta wilayah Asia, seperti Malaysia dan Indonesia. Dunia perbankan ternyata bukan berasal hanya dari dunia Barat sebagaimana selama ini kita kenal dan pelajari, akan tetapi dunia perbankan juga berasal dari dunia Timur. Suatu perkembangan yang boleh dikatakan sangat mengembirakan, khususnya bagi umat Islam yang selama ini menginginkan investasi dan pendanaan tanpa unsur riba.
Satu hal yang sangat menarik, yang membedakan antara manajemen bank muamalat dengan bank umum (konvensional) adalah terletak pada pembiayaan dan pemberian balas jasa, baik yang diterima oleh bank maupun investor. Jika dilihat pada bank umum, pembiayaan disebut loan, sementara di Bank Syariah disebut financing. Sedangkan balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam prosentase pasti. Sementara pada bank muamalat dengan sistem syariah, hanya memberi dan menerima balas jasa berdasarkan perjanjian (akad) bagi hasil. Selanjutnya dalam perbankan syariah dikenal istilah mudharabah, murabahah dan musyarakah untuk program pembiayaan.Bank syari’ah akan memperoleh keuntungan berupa bagi hasil, dari proyek yang dibiayai oleh bank tersebut. Apabila proyeknya mandek, maka akan dicarikan solusi penyelesaian. Misalnya, dengan menjual aset proyek. Uang penjualan aset proyek yang dibiayai Bank Syariah, akan dibagi kepada bank dan nasabah sesuai penyertaan masing-masing pada usaha tersebut. Lalu bagaimanakah dengan mekanisme manajemen kredit yang dapat diberlakukan dalam bank muamalat, dimana dalam mekanisme ini terjadi tarik-menarik kepentingan antara peminjam, bank dan investor . Bagi peminjam dana (borrowers), hal ini merupakan kesempatan emas dimana peminjam tidak terlalu terbebani atas bunga pinjaman tersebut. Tetapi bagi kalanganinvestor (deposan atau penanam modal lainnya), sistem perbankan ini kurang menjanjikan. Para investor (lenders) menginginkan dana yang diinvestasikannya, memiliki pengembalian minimal sesuai dengan harapan mereka. Sebaliknya, bank sebagai media perantara (intermediasi) bisa mengalami kesulitan untuk menggalang dana masyarakat. Kegiatan operasional bank dalam bentuk penyaluran kredit, dapat terhambat jika mobilisasi dana tidak sesuai dengan jumlah permintaan pendanaan.
Berdasarkan fenomena diatas, ingin diungkapkan disini bahwa ada beberapa hal yang terkait antara mekanisme manajemen kredit bank muamalat dan bank umum.
II. Bank Muamalat dan Lembaga Keuangan
Bank muamalat atau bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Kenyataan di masyarakat, mungkin terdapat kesimpangsiuran mengenai pemahaman tentang pengertian lembaga keuangan dengan bank muamalat. Lembaga keuangan dapat dikatakan sebagai badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk asset keuangan atau tagihan (claim) serta asset non finansial atau asset riil dan memberikan pelayanan jasa dalam bentuk skim tabungan (depositori), proteksi asuransi, program pensiun, dan penyediaan sistem pembayaran melalui mekanisme transfer dana (Siamat:1999).
Jika dilihat dari dua pengertian diatas, antara lembaga keuangan dengan bank muamalat memiliki persamaan yaitu sebagai badan usaha yang bergerak dalam bidang pengelolaan keuangan dan pendanaan maupun investasi. Pernyataan ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 1992, tentang perubahan lembaga keuangan bukanbank (LKBB) menjadi bank umum. Bank umum menurut UU No. 7 Tahun 1992, disamping melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pendiri lebih menyukai bentuk lembaga keuangan, mungkin karena lapangan maupun orientasi usahanya masih dalam lingkupyang kecil. Sedangkan pendirian sebuah bank, memerlukan capital adequacy ratio (CAR) 8% berdasarkan rasio kecukupan modal perbankan. Pada dasarnya lembaga keuangan, bank konvensional, maupun bank Islam (bank Muamalat) merupakan bagian dari manajemen keuangan modern.
Lembaga keuangan syariah maupun bank Muamalat, sebagai lembaga keuangan Islam dan alternatif pengganti bank-bank konvensional memiliki ciri-ciri keistimewaan sebagai berikut :
1. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabahnya.
2. Diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, sehingga akan berdampak positif dalam menekan cost push inflation dan persaingan antar bank.
3. Tersedianya fasilitas kredit kebaikan (Al-Qardhul Hasan) yang diberikan secara Cuma-Cuma
4. Konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan :
a. Mendorong kegiatan investasi dan menghambat simpanan yang tidak produktif melalui sistem operasi profit and loss sharing.
b. Memerangi kemiskinan dengan membina golongan ekonomi lemah dan tertindas, melalui bantuan hibah yang dilakukan bank secara produktif.
c. Mengembangkan produksi, menggalakkan perdagangan dan memperluas kesempatan kerja melalui kredit pemilikan barang atau peralatan modal dengan pembayaran tangguh dan pembayaran cicilan.
d. Meratakan pendapatan melalui sistem bagi hasil dan kerugian, baik yang diberikan kepada bank itu sendiri maupun kepada peminjam.
5. Penerapan sistem bagi hasil yang tidak membebani biaya diluar kemampuan nasabah dan akan terjamin adanya “keterbukaan”.
6. Menciptakan alternatif kehidupan ekonomi yang berkeadilan dalam kehidupan modern.
III. Fungsi dan Usaha Bank Muamalat
Di Indonesia, keberadaan bank muamalat sudah ada sejak pertengahan tahun 1992, tepatnya setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1992 sebagai dasar hukum, yang kemudian dirubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998. kebijakan perundangan ini diperkuat oleh Keputusan Menteri Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah RepublikIndonesia No. 53/BH/KDK 13.32/1.2/XII/1998, pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi No. 165/PAD/KDK 13.32/1.2/V/1999,serta izin usaha dari Menteri Keuangan untuk beroperasi dengan prinsip bagi hasil seperti bank perkreditan rakyat (BPR) Syariah. Berdasarkan beberapa dasar hukum ini, bank muamalat memiliki kesamaan fungsi demngan bank umum. Fungsi-fungsi bank umum sebagaimana yang dimaksud antara lain (Siamat:1999) :
1. Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien dalam kegiatan ekonomi. Bank wajib menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien kepada nasabahnya, seperti penyediaan fasilitas kartu kredit, ATM, serta mekanisme jasa kliring dan inkaso.
2. Menciptakan uang. Menciptakan uang yang dimaksud bukanlah seperti fungsi pada bank Indonesia. Menciptakan uang dalam hal ini adalah bagaimana bank muamalat dalam kegiatan operasionalnya seperti bank konvensional, dapat memberikan perolehan hasil secara maksimal. Perolehan hasil ini merupakan balas jasa (keuntungan) yang diterima dalam bentuk uang, yang dapat digunakan kembali untuk memperlancar kegiatan operasional bank atau disimpan sebagai cadangan modal.
3. Menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat. Kegiatan menghimpun dana dapat dilakukan dengan cara menawarkan jasa dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, giro maupun penerimaan dana sesuai dengan syariah Islam. Penyaluran kembali dana ke masyarakat dapat dalam bentuk pemberian kredit dan bentuk-bentuk pendanaan lainnya. Dalam penyaluran kembali dana masyarakat, bank memperoleh balasjasa dalam bentuk bagi hasil berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Tujuan dari perputaran dana ini adalah sebagai perolehan hasil (profit) dan mobilisasi dana dapat terus berjalan.
4. Menawarkan jasa-jasa keuangan lainnya. Jasa-jasa keuangan lainnya yang dapat ditawarkan oleh bank muamalat, antara lain :
a. Transfer antar bank dalam kota atau luar negeri.
b. Kliring (clearing)
c. Inkaso
d. Safe deposit box
e. Bank card
f. Bank notes
g. Travelers cheque
h. Letter of credit (L/C)
i. Bank garansi
j. Jasa-jasa dipasar modal
k. Menerima setoran-setoran lain
Menurut Siamat (1999), kegiatan usaha bank yang dapat dilakukan berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, antara lain :
1. Menghimpun dana dari masyarakat. Penghimpunan atau mobilisasi dana dapat melalui sarana tabungan, deposito berjangka dan giro.
2. Memberikan kredit. Kredit yang diberikan dapat dalam bentuk pendanaan kegiatan ekonomi masyarakat mapun barang kebutuhan konsumen.
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
4. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
a. Surat-surat wesel termasuk wesel yang disekap oleh bank.
b. Surat pengakuan utang.
c. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah.
d. Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
e. Obligasi.
f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
g. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana komunikasi mapun dengan wesel.
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga.
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (custodian).
10. Melakukan penempatan dana dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
11. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
12. Melakukan kegiatan anjak piutang (factoring) kartu kredit dan kegiatan wali amanat (trustee).
13. menyediakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
14. Melakukan kegiatan lain, misalnya kegiatan transaksi dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal atau usaha lain di bidang keuangan seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, dan asuransi, serta melakukan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit.
15. Kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.
IV. Manajemen Kredit Syariah
Menurut UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, disebutkan bahwa “kredit adalah penyediaan uang tagihan atau yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. Menurut Siamat (1999), kredit ini dapat digolongkan kedalam enam bentuk yaitu :
1. Penggolongan kredit berdasarkan jangka waktu (maturity), antara lain :
a. Kredit jangka pendek (short-term loan).
b. Kredit jangka menengah (medium-term loan)
c. Kredit jangka panjang (long-term loan).
2. Penggolongan kredit berdasarkan barang jaminan (collateral), antara lain :
a. Kredit dengan jaminan (secured loan).
b. Kredit dengan jaminan (unsecured loan).
3. Kredit berdasarkan segmen usaha, seperti otomotif, pharmasi, tekstil, makanan, konstruksi dan sebagainya.
4. Penggolongan kredit berdasarkan tujuannya, antara lain :
a. kredit komersil (commercial loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memperlancar kegiatan usaha nasabah di bidang perdagangan.
b. Kredit konsumtif (consumer loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan debitur yang bersifat konsumtif.
c. Kredit produktif (productive loan), yaitu kredit yang diberikan dalam rangka membiayai kebutuhan modal kerja debitur sehingga dapat memperlancar produksi.
5. Penggolongan kredit menurut penggunaannya, antara lain :
a. Kredit modal kerja (working capital credit), yaitu kredit yang diberikan oleh bank untuk menambah modal kerja debitur.
b. Kredit investasi (Invesment credit), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan untuk digunakan melakukan investasi dengan membeli barang-barang modal.
6. Kredit non kas (non cash loan), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah yang hanya boleh ditarik apabila suatu transaksi yang telah diperjanjikan telah direalisasikan atau efektif.
Dalam pendanaan kepada nasabah dalam bentuk pemberian kredit, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penilaian kredit, oleh karena layak tidaknya kredit yang diberikan akan sangat mempengaruhi stabilitas keuangan bank.
Menurut Rahardja (1997), penilaian kredit harus memenuhi criteria sebagai berikut :
1. Keamanan kredit (safety). Harus benar-benar diyakini bahwa kredit tersebut dapat dilunasi kembali.
2. Terarahnya tujuan penggunaan kredit (suitability). Kredit akan digunakan untuk tujuan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat atau setidaknya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
3. Menguntungkan (profitable). Kredit yang diberikan menguntungkan bagi bank maupun bagi nasabah.
Menurut Sinungan (1993), metode lain yang dapat digunakan untuk menentukan nilai kredit adalah dengan menggunakan formula 4P, yaitu :
(1) Personality
(2) Purpose
(3) Prospect
(4) Payment
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi resiko penilaian kredit
(Rahardja:1997), antara lain :
(1) Character
(2) Capacity
(3) Capital
(4) Conditional
(5) Collateral.
Risiko Bank Syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank Syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa. Sementara untuk deposan, Bank Syariah tidak memberikan bunga melainkan sistem bagi hasil atau mudharabah.
Jika pendapatan dari kredit atau dalam Bank Syariah disebut murabahah ditetapkan 10 persen, maka pada mudharabah (sistem bagi hasil) akan ditetapkan angka lebih rendah. Selisihnya merupakan pendapatan bank sebagai biaya jasa. Risiko Bank Syariah terhadap transaksi foreign exchange juga rendah karena, pada Bank Syariah transaksi valas hanya diizinkan dalam bentuk transaksi spot. Sementara forward dan swap tidak diizinkan karena bersifat gambling. (Karim, 2003).
Aspek-aspek lainnya yang perlu diperhatikan dalam penilaian kredit, yang menyangkut kegiatan usaha calon debitur (Siamat:1999), antara lain :
1. Aspek pemasaran. Menyangkut kemampuan daya beli masyarakat, keadaan kompetisi, pangsa pasar, kualitas produksi dan lain sebagainya.
2. Aspek teknis. Meliputi kelancaran produksi, kapasitas produksi, mesin dan peralatan, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku.
3. Aspek manajemen. Meliputi struktur dan susunan organisasi, termasuk pengalaman anggota dan pola kepemimpinan manajemen.
4. Aspek yuridis. Meliputi status hukum badan usaha, kelengkapan izin usaha dan legalitas barang jaminan.
5. Aspek sosial ekonomi. Meliputi keadaan keuangan perusahaan debitur yang dibiayai.
Manajemen kredit bank syari’ah secara umum diterapkan dengan berpegang teguh kepada syariah Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadist). Diharapkan lembaga keuangan maupun bank dengan sistem syariah dapat menjaga kestabilan keuangan mereka (income stability). Selain itu, bank syariah diharapkan dapat lebih memaksimalkan pelayanan mobilisasi dana masyarakat dan memberikan jaminan keuangan dengan pasti. Di sisi lain, penyaluran kembali dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan, akan berjalan normal sesuai dengan harapan dan tujuan bersama.
Permasalahan yang biasanya dialami oleh lembaga keuangan syariah atau bank muamalat dalam kegiatan operasionalnya, antara lain :
1. Modal (capital).
2. Human resource activity (kegiatan operasional).
3. Operational management system (sistem manajemen keuangan).
4. Financial management system (sistem manajemen keuangan).
5. Loyality of credit (loyalitas kredit).
Karim (2003), mengemukakan bahwa pada sisi kredit, dalam aturan syariah bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah). Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam Bank Syariah, karakter nasabah (personal guarantee) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset. Debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya baik akan mendapat prioritas.
V. Hubungan Antara Kredit dengan Piutang
Piutang merupakan cadangan penerimaan yang mungkin diterima oleh suatu badan usaha, dalam jumlah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang. Piutang lahir akibat adanya pendanaan dalam bentuk pemberian kredit dan pemberian jasa lainnya, dimana pembayaran dari penggunaan jasa tersebut dilakukan pada waktu tertentu, misal harian, mingguan, bulanan atau periode waktu lainnya. Besarnya piutang yang akan diterima badan usaha (bank atau lembaga keuangan), ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak pemberi jasa (bank atau lembaga keuangan) dan pihak pengguna jasa. Semakin besarnya kredit yang diberikan, akan menambah besarnya resiko yang akan ditanggung badan usaha.
Resiko kredit karena adanya piutang, dapat melalui prosentase perbandingan antara jumlah kredit bermasalah dengan jumlah harta keseluruhan (Sutojo:1997). Resiko lain yang dapat ditimbulkan oleh piutang adalah pada penerimaan bersih (earning after taxes). Semakin besar jumlah piutang dan jumlah piutang tak tertagih (bad debt) yang dimiliki badan usaha, akan menyebabkan semakin kecil penerimaan bersih yang mampu diperoleh badan usaha, baik lembaga keuangan maupun bank. Mengingat bahwa piutang sangat berpengaruh terhadap kestabilan usaha, maka piutang perlu dikelola dengan baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen piutang, antara lain :
1. Credit policy. Kebijakan kredit ini menyangkut bagaimana jangka waktu penetapan piutang, besarnya piutang dan penetapan cara-cara pembayaran oleh debitur.
2. Credit scoring. Hal ini berkaitan dengan penilaian kredit dan pemberian ranking (pengelompok piutang).
3. Credit standard. Standar atau patokan terhadap pemberian ranking dalam penilaian kredit bank.
VI. Menuju Bank Syari’ah 2011
Tak bisa dipungkiri perkembangan bank syari’ah memang cukup pesat. Namun, perkembangan bank sistem bagi hasil ini harus dibarengi dengan konsolidasi internal dan eksternal bank agar semakin tangguh dan dipercaya masyarakat. Bank Indonesia sendiri sebagai pengawas perbankan telah menentukan sasaran realistis untuk mewujudkan visi perbankan syari’ah yang kompetitif, efisien dan memenuhi prinsip kehati-hatian. Berikut ini sasaran pengembangan bank syari’ah hingga 2011:
1. Terpenuhinya prinsip syari’ah dalam opersional perbankan yang ditandai dengan:
? Tersusunnya norma-norma keuangan syari’ah yang seragam (standarisasi).
? Terwujudnya mekanisme kerja yang efisien bagi pengawasan prinsip syari’ah dalam operasional perbankan (baik instrumen maupun badan terkait).
? Rendahnya tingkat keluhan masyarakat dalam hal penerapan prinsip syari’ah dalam setiap transaksi.
2. Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syari’ah:
? Terwujudnya kerangka pengaturan dan pengawasan berbasis resiko yang sesuai dengan karakteristiknya dan didukung oleh sumber daya manusia yang handal.
? Diterapkannya konsep good corporate governance dalam operasi perbankan syari’ah.
? Diterapkannya kebijakan exit dan entre yang efisien.
? Terwujudnya realtime supervision.
? Terwujudnya self regulatory system.
3. Terciptanya sistem perbankan syari’ah yang kompetitif dan efisien, yang ditandai dengan:
? Terciptnya pemain-pemain yang mampu bersaing secara global.
? Terwujudnya aliansi strategis yang efektif.
? Terwujudnya mekanisme kerja sama dengan lembaga-lembaga pendukung.
4. Terwujudnya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas, yang ditandai dengan:
? Terwujudnya safety net yang menyatu dengan konsep operasional perbankan yang berhati-hati.
? Terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan bank syari’ah di seluruh Indonesia dengan terget pangsa sebesar 5% dari total aset perbankan nasional.
? Terwujudnya fungsi perbankan syari’ah yang kaafah dan dapat melayani seluruh segmen masyarakat.
? Meningkatnya proporsi pola pembiayaan secara bagi hasil.
VII. Kesimpulan dan Saran
1. Lembaga keuangan syariah atau bank muamalat merupakan badan usaha yang bergerak dalam bidang keuangan, untuk memobilisasi dana masyarakat dan memberikan pelayanan jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
2. Satu hal yang membedakan antara bank Islam dengan bank konvensional adalah penerapan sistem bagi hasil yang menggantikan sistem bunga. Sistem ini merupakan terobosan terbaru dalam dunia perbankan, bagi mereka yang tidak menginginkan adanya unsur riba pada bunga.
3. Pendanaan dalam bentuk pemberian kredit pada pola bank Islam maupun lembaga keuangan syariah, perlu mendapat perhatian yang serius. Kredit macet dapat menyebabkan likuiditas, keamanan dan penerimaan bank menjadi rendah dan bahkan dapat mendatangkan kerugian yang cukup.
4. Kombinasi antara manajemen bank umum dengan sistem keuangan syariah, dapat diterapkan sebagai sarana untuk menyeimbangkan antara dua kepentingan (lenders borrowers).
5. Perlu dipersiapkan panduan pengelolaan risiko atau benchmarking bagi bank-bank syari’ah di Indonesia dengan melakukan studi banding ke negara-negara yang menjalankan sistem perbankan Islam. Hal ini sangat diperlukan mengingat struktur aset dan kredit bank syari’ah berbeda dengan bank biasa. Sementara Based Accord II yang digunakan sebagai acuan bank konvensional tidak bisa digunakan begitu saja oleh bank syari’ah.
0 komentar:
Posting Komentar